“He Was Raped by Her”

Selama ini kita lebih sering berpikir bahwa korban perkosaan dan kekerasan biasanya adalah perempuan. Persepsi ini sebenarnya kurang tepat, karena baik perempuan, laki-laki maupun transgender memiliki resiko menjadi korban perkosaan dan kekerasan. Sejauh ini, secara pribadi aku hanya pernah menangani 2 kasus kekerasan yang korbannya adalah laki-laki. Tapi aku punya beberapa teman baik laki-laki yang mengalami kekerasan. Dua diantaranya dilakukan oleh pasangan (istri dan pacar), dan yang satu merupakan kekerasan seksual oleh pasangan. Tidak terbayang? Aneh? Terasa asing? Awalnya memang begitu. Tapi mendengar cerita mereka, aku benar-benar sadar bahwa laki-laki pun bisa menjadi korban.

Salah seorang teman baikku adalah warga negara Kanada yang bekerja di Thailand. Setelah beberapa tahun, ia menikah dengan seorang gadis asal Isan, Thailand. Isan terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik dan tangguh. Kalau di Indonesia, mungkin seperti Bandung yang terkenal dengan “mojang Priangan”-nya. Setelah beberapa tahun menikah, aku mendapat kabar bahwa temanku ini akhirnya berpisah dengan istrinya. Sungguh kaget rasanya karena setahu aku, ia sangat mencintai istrinya itu. Temanku pun menceritakan pengalamannya. Pada suatu hari, ia dan istrinya terlibat adu mulut yang cukup sengit. Tak dinyana, perang mulut itu berujung pada kekerasan fisik. Temanku akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit terdekat karena mengalami patah tulang rusuk (2 tulang kanan dan kiri), patah tulang paha, luka sobek di dagu dan luka-luka lainnya. Ia pun memerlukan waktu yang cukup lama untuk pulih dari luka fisik dan luka batinnya. Temanku ini baru bisa menceritakan semuanya dengan jelas setelah kejadian itu 2 tahun berlalu. Ia sangat trauma. Menurutnya, ketika adu mulut yang terjadi dengan istrinya semakin memanas, tiba-tiba istrinya mengambil kursi dan mulai memukulinya dengan kursi itu hingga ia terpojok. Melihat temanku terpojok, istrinya tidak serta merta berhenti, namun terus menghujaninya dengan pukulan dengan menggunakan benda-benda yang ada di sekitarnya. Temanku yang sangat paham dengan isu-isu pemberdayaan perempuan dan HAM, memilih untuk tidak melawan karena posisinya sulit. Hendak dilawan, tapi itu adalah seorang perempuan yang notabene juga adalah istrinya. Tidak melawan, babak belur. Aku sendiri kaget mendengar betapa sang istri punya kekuatan yang luar biasa. Ternyata, di Thailand sendiri, perempuan asal Isan sangat terkenal tidak hanya karena kecantikannya tapi juga karena ketangguhan fisiknya. Hal ini disebabkan karena di kampung halamannya, mereka lah yang mengerjakan pekerjaan laki-laki seperti berladang, mencangkul, menggali, mengambil air. Untuk kasus temanku, mungkin derasnya adrenalin juga menambah kekuatan si perempuan ketika menyerang.

Temanku yang lain memiliki kasus yang berbeda. Ia dan pacarnya sudah menjalin hubungan selama 2 tahun. Tiba-tiba aku mendengar kabar bahwa mereka putus. Meskipun bisa memaklumi, namun tak bisa dipungkiri bahwa aku sedikit kaget juga karena terakhir kali bertemu mereka membicarakan rencana pernikahan. Temanku ini lalu menghubungiku dan meminta untuk bertemu. Kami pun bertemu di sebuah kafe di Jakarta yang suasananya cukup lengang. Setelah mengobrol kesana kemari, akhirnya ia pun menceritakan apa yang dialaminya. Selama 2 tahun menjalin hubungan, ia merasa pacarnya sangat dominan. Selain sering melakukan “emotional black mail”, rupanya sang pacar juga sering memaksanya untuk berhubungan seks. Jika temanku ini menolak, pacarnya akan mengeluarkan kata-kata yang bersifat menghina dan merendahkan kemampuan seks temanku. Tak jarang juga, sang pacar memaksanya untuk tetap berhubungan seks. Seringnya hingga berkali-kali, hingga temanku ini merasa tidak kuat. Dalam keadaan lelah, sang pacar lalu menerornya dengan berbagai macam penghinaan, ejekan dan bahkan membandingkannya dengan mantan pacarnya yang lain, yang menurutnya jauh lebih hebat. Dalam kasus ini, temanku merasa ia telah diperkosa, secara fisik dan batin oleh pacarnya. Sebagai laki-laki, harga diri dan egonya terkoyak. Tentu saja ia tidak berani menceritakan hal ini kepada siapapun karena takut disebut sebagai laki-laki yang lemah. Ia sendiri telah beberapa kali mencoba untuk memutuskan hubungannya, namun sang pacar selalu mengancam akan bunuh diri atau akan merusak hubungannya dengan perempuan lain yang menjadi pacar barunya. Setelah mencoba bertahan selama 2 tahun, akhirnya temanku ini pun tak kuat lagi. Ia nekad memutuskan hubungan kemudian pindah kost, mengundurkan diri dari tempat kerjanya dan mengganti semua nomor telepon selularnya. Ia bahkan berniat untuk pindah ke kota lain dan rela menutup akun jejaring sosialnya demi menghindari kejaran sang mantan. Ketika memutuskan bertemu denganku pun, temanku ini sebenarnya masih dalam proses pemulihan dan harus berpikir berulang kali sebelum memutuskan untuk menceritakan pengalamannya padaku.

Laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan psikologis. Beberapa kasus yang menimpa konsulenku adalah kekerasan psikologis pada laki-laki. Formatnya persis sama dengan apa yang dialami perempuan. Para lelaki ini dilarang untuk bersosialisasi dengan teman-temannya terutama dengan teman perempuan (apalagi yang tidak dikenal oleh pasangan); email, telepon seluler dan akun jejaring sosial mereka dipantau ketat oleh pasangan, bahkan tak jarang mereka menempatkan komentar-komentar sinis ketika ada teman perempuan yang menulis pada laman akun jejaring sosial mereka; mengambil alih telepon untuk menjawab ketika teman perempuan yang menghubungi; melarang pergi ke tempat-tempat tertentu dan melarang bertemu dengan orang-orang tertentu; jika pergi kemana-mana harus selalu ditemani pasangan; selalu menanyakan keberadaan mereka dan tak jarang menyusul ke tempat mereka berada hanya untuk memastikan bahwa mereka tidak sedang bertemu dengan orang-orang yang tidak masuk dalam “approval list” sang pacar. Sekilas apa yang terjadi tampak seperti kecemburuan yang berlebihan. Namun jika dikaji lebih dalam, ini sudah merupakan manifestasi dari kekerasan psikologis. Seperti halnya perempuan, banyak laki-laki juga tidak sadar bahwa mereka telah terjebak dalam hubungan yang abusive dan rentan kekerasan. Kebanyakan orang sulit membedakan batasan antara cemburu dan kekerasan psikologis. Tindakan yang didasari oleh rasa cemburu biasanya masih memiliki argumen yang bisa diterima atau setidaknya bisa didiskusikan/diperdebatkan dan biasanya terkait dengan kejadian atau kebiasaan di masa lalu (masalahnya bukan pada si pelaku), sedangkan kekerasan psikologis biasanya memiliki alasan yang ambigu (malah seringkali tanpa alasan) karena masalahnya ada pada diri pelaku.

Kisah-kisah perkosaan yang menimpa kaum laki-laki juga banyak ditemui di dalam penjara. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di banyak negara di dunia. Perkosaan yang terjadi dalam penjara memiliki beberapa alasan atau faktor pendorong. Ada yang merupakan proses perpeloncoan napi baru, ada yang memang merupakan pelampiasan kebutuhan seksual, ada yang merupakan bentuk ‘hukuman’ dan ada pula yang merupakan pemerasan untuk menjamin keamanan si korban selama berada dalam penjara. Selain perkosaan terhadap laki-laki di dalam penjara, teman-teman waria juga sering menjadi korban. Namun sebagai pengingat saja, pada dasarnya perkosaan bukanlah masalah seksualitas. Perkosaan adalah manifestasi dari superioritas, sebuah “ruang pamer kekuatan dan kekuasaan”. Kurang tepat jika dikatakan bahwa semua pelaku perkosaan seksual adalah orang-orang yang maniak seks. Mengapa? Karena kepuasan yang mereka dapatkan sebenarnya bukan dari hubungan seks yang dilakukan, tapi lebih banyak dari kemampuan/keberhasilan mereka untuk melakukan pemaksaan mulai dari korbannya menolak hingga akhirnya tak bisa melawan dengan menekan elemen psikologis korban sampai ke titik terendah yang membuat mereka tidak berdaya dan takut, hingga akhirnya menyerah. Orgasme yang didapat dari kegiatan seksual yang dilakukan hanyalah ‘bonus’ saja. Beberapa teman wariaku mengaku bahwa mereka mengalami perkosaan oleh preman yang minta jatah ‘upeti keamanan’. Umumnya mereka tidak berani mengakui atau melaporkan kejadian tersebut karena diancam atau takut malah saat melapor mereka yang dipersalahkan.

Hampir semua laki-laki korban kekerasan dan perkosaan tidak mau dan malu untuk mengakui apa yang mereka alami. Bahkan menurut pengamatanku, jauh lebih malu daripada korban perempuan. Mengapa? Karena di lingkungan masyarakat yang patriarkal, laki-laki dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan di atas perempuan. Maka untuk mengakui bahwa mereka mengalami kejadian yang notabene merupakan ajang pamer kekuatan, adalah hal yang memalukan. Untuk mengakui dan menerima kejadian tersebut pada tingkat pribadi saja sudah merupakan hal yang sulit, apalagi jika harus mengakuinya kepada orang lain. Hampir semua tidak mendapatkan (atau mungkin lebih tepat tidak mencari) dukungan dan mengalami trauma yang sangat dalam karena beban itu dipikul sendirian. Kendala lain yang sering dihadapi oleh laki-laki yang menjadi korban kekerasan oleh perempuan adalah persepsi orang tentang laki-laki yang memukul atau menyakiti perempuan. Ada semacam aturan tidak tertulis yang tidak membenarkan laki-laki untuk melawan ketika disakiti secara fisik oleh perempuan, dengan alasan perempuan tidak punya kekuatan sebesar laki-laki. Jadi, ketika dilawan, sudah pasti si perempuan akan kalah pada akhirnya. Namun aku rasa pada kasus seperti yang dialami temanku dengan istrinya di Thailand, ia berhak membela dan melindungi dirinya sebagai manusia. Kekhawatiran lain adalah ketika pada akhirnya laki-laki melakukan pembelaan diri, si perempuan akan dengan mudahnya memutar balikkan situasi dan menempatkan dirinya sebagai korban, meskipun awalnya ia menempati posisi sebagai pelaku. Sangat sedikit dari laki-laki yang menjadi korban kekerasan dan perkosaan yang mau membuka diri dan menceritakan pengalamannya kepada teman, keluarga atau pasangan. Dilema masalah harga diri sebagai laki-laki selalu menjadi alasan utama mereka untuk tetap diam. Namun pada akhirnya bagi mereka yang tidak dapat melakukan pemulihan sendiri, akibatnya bisa mengalami depresi atau lebih buruk lagi, berputar 180 derajat menjadi pelaku kekerasan sebagai tindakan balas dendam atas apa yang menimpanya.

Mungkin sudah saatnya kaum laki-laki juga berhati-hati agar tidak mengalami kekerasan dan perkosaan. Kita semua harus mulai sadar bahwa kekerasan dan perkosaan mengancam siapapun tanpa melihat gender. Perempuan memang dianggap lebih rentan menjadi korban, namun ini tidak berarti para lelaki bisa lepas dari ancaman. Salah seorang temanku, seorang perempuan Thailand, menceritakan bagaimana kakak iparnya, seorang perempuan yang mungil dan lemah lembut bisa dengan mudahnya menyewa 3 orang laki-laki untuk memukuli sampai akhirnya menghabisi nyawa mantan suaminya (yang notabene adalah kakak kandung temanku) hanya gara-gara ia tidak puas dengan pengaturan gono-gini ketika mereka bercerai. Biaya yang dikeluarkan pun hanya THB2,000 (kurang lebih Rp. 500,000) per orang. Kita tidak boleh melecehkan kemampuan seseorang, karena sesungguhnya kita tidak pernah tahu apa yang bisa diperbuat olehnya. Semua orang patut berhati-hati, karena kekerasan dan perkosaan tidak kenal gender. [sr]