Permasalahan aborsi di Indonesia masih menjadi suatu kontroversi yang lebih sering diperdebatkan dengan menggunakan latar belakang agama, moral, hukum dan norma sosial ketimbang HAM. Sedianya aborsi adalah keputusan pribadi yang pelaksanaannya mutlak berada di tangan si empunya tubuh dan rahim. Aborsi adalah bagian dari HAM yang merupakan hak seksual & reproduktif perempuan. Gerakan perempuan global sudah sejak lama memperjuangkan hak yang satu ini agar dapat dinikmati oleh perempuan di seluruh dunia. Aborsi adalah pilihan bagi perempuan. Semua perempuan tidak patut merasa terpaksa dalam menjalani kehamilan yang tidak diinginkan.
Jika diingat-ingat, pertama kali aku memutuskan untuk menjadi penganut paham “Pro Choice” adalah ketika aku duduk di bangku SMA kelas 2. Saat itu ada seorang teman sekolahku yang diperkosa lalu kemudian hamil. Keluarganya menolak untuk melaporkan kejadian tersebut karena takut nama keluarga akan tercoreng. Dan ketika temanku mendapati dirinya hamil, ia berkata padaku bahwa ia tak sudi melahirkan anak hasil perkosaan yang akan terus menerus mengingatkannya kepada kejadian pahit itu. Aku pun memutuskan untuk menemaninya bicara dengan orang tuanya. Temanku memohon-mohon kepada orang tuanya untuk diperbolehkan menggugurkan kandungannya, sementara ayah dan ibunya bersikeras bahwa bayi yang dikandungnya tidak bersalah dan tidak seharusnya menjadi korban. Apa lah yang bisa kami perbuat sebagai remaja umur 17 tahun ketika itu? Aku tidak punya uang yang cukup untuk membantu temanku diam-diam menggugurkan kandungannya. Terbentur pada masalah keuangan, dengan berat hati akhirnya temanku menuruti permintaan orang tuanya untuk meneruskan kehamilannya. Ketika usia kehamilannya masuk bulan kelima, temanku akhirnya terpaksa harus keluar dari sekolah agar pihak sekolah dan teman-teman lainnya tidak tahu bahwa ia sedang hamil. Seminggu sekali aku datang menjenguk ke rumahnya untuk sekedar bertukar cerita dan mencoba untuk mengalihkan pikirannya. Saat melahirkan pun tiba. Ketika aku datang ke rumah sakit, temanku telah melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Tapi ia sama sekali tidak mau menyentuh, menggendong apalagi menyusui anaknya. Setelah temanku pulang kembali ke rumah, ibunya menegur karena ia sama sekali tak mau mengurus anaknya. Dengan entengnya temanku berkata, “Lho? Yang pengen anak ini dilahirin kan bapak sama ibu, bukan aku! Kok tiba-tiba aku yang disuruh ikutan repot? Dari awal kan aku udah bilang kalo aku nggak sudi punya anak yg bapaknya nggak jelas, hasil diperkosa, lagi!” – sang ibu hanya bisa menangis diam-diam, sementara ayahnya tak mampu menjawab. Tak ada yang mampu melunakkan hatinya, bahkan aku yang biasanya bisa mengajaknya bicara pun tak bisa berbuat apa-apa. Ketika aku pergi ke Jepang selama setahun, aku kehilangan kontak. Sekembalinya aku ke Indonesia, aku mendengar kabar bahwa temanku itu pergi meninggalkan rumah dan tak diketahui keberadaannya hingga saat ini. Keluarganya sesekali menerima surat pendek dengan cap pos berpindah-pindah. Sepertinya hanya untuk menunjukkan bahwa ia masih hidup dan baik-baik saja.
Apa yang menimpa temanku itu menjadi titik balik bagiku. Aku melihat betapa dalam trauma yang dialami temanku karena kejadian perkosaan yang menimpanya, itu pun masih ditambah lagi dengan paksaan untuk melahirkan anak hasil perkosaannya. Dalam hati, aku dapat memahami kemarahannya. Aku sendiri pun yakin, jika aku yang berada pada posisinya, aku pasti akan menggugurkan kandunganku. Ini bukan masalah “bayi tidak berdosa”, ini soal beban psikologis yang ditanggungnya sebagai korban yang tidak memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan dan hak seksual reproduktifnya. Jika orang bisa begitu peduli dengan janin yang ada dalam kandungan, kenapa tak secuil pun kepedulian diperlihatkan untuk kesehatan psikologis ibunya? Mengapa harus mengorbankan perasaan anak sendiri demi menjaga nama baik keluarga? Kenapa orang tuanya begitu tega memaksa anaknya untuk meneruskan kehamilan yang tak diinginkannya? Kenapa yang dipikirkan hanya si janin, dan bukan si ibu yang notabene sudah dalam keadaan tertekan dan trauma? Semua itu tak bisa dipahami oleh otak remajaku saat itu. Sungguh absurd!
Kejadian itu sudah lama berlalu. Di tengah era globalisasi yang melaju deras, tiba-tiba aku menyadari bahwa permasalahan yang sama masih juga terjadi. Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan yang berkaitan erat dengan hak seksual reproduktifnya. Kehamilan, aborsi, sterilisasi dan kontrasepsi adalah hak seksual reproduktif perempuan. Di mana perempuan adalah pemegang kendali dalam pengambilan keputusan yang prosesnya bisa dibantu oleh pihak-pihak lain seperti keluarga dan pasangan. Ketika kehamilan yang tidak diinginkan terjadi, perempuan memiliki hak penuh untuk melakukan terminasi. Kehamilan memerlukan kesiapan fisik dan mental, sehingga ketika perempuan merasa belum siap, ia berhak untuk menunda. Namun kenyataannya tidak lah seperti itu. Masih banyak perempuan yang dipaksa untuk meneruskan kehamilan, sementara sebagian lagi dipaksa untuk melakukan terminasi. Pemaksaan untuk meneruskan kehamilan biasanya dikaitkan dengan nilai-nilai agama, sosio-kultural, hukum dan tradisi. Sementara terminasi seringkali dikaitkan dengan alasan medis dan tak jarang dengan status HIV si perempuan. Banyak negara masih melarang praktek aborsi dengan berbagai argumen, yang akhirnya hanya membuahkan praktek-praktek aborsi underground yang tidak terjamin keamanannya. Sebenarnya yang diperlukan oleh perempuan adalah pilihan untuk melakukan aborsi aman, sehingga mereka tidak membahayakan nyawanya sendiri. Pelarangan hanya akan membuat perempuan mengambil jalan pintas yang berbahaya.
Aborsi adalah pilihan. Hak seksual reproduktif perempuan! Aborsi bukan materi untuk dijadikan debat hukum, moral atau agama, karena perempuan memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri. Oleh karena itu, perempuan lah yang paling berhak untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Our body, our rights, our choice, our decision! [sr]