Aku yang Peremp…

Aku yang Perempuan:

Nama saya Aida, aku yang perempuan. Sebagai seorang perempuan, yang meng[alami] sebagai perempuan, dan berenang dalam lautan persoalan perempuan dan hukum (baca: keadilan) khususnya, pertanyaan tentang hidup begitu suram, terkadang seakan berada di luar batas manusiawi sungguh membuat saya mesti berhenti sesaat.

Sebagai seorang perempuan, pengalaman saya berkisar ber[tubuh], ber[rasio], dan ber[rasa] perempuan, dan ber[rukun] sebagai perempuan. Sebagai perempuan, saya melihat berbeda dengan laki-laki melihat, melakukan berbeda dengan laki-laki melakukan, dan mengalami akibat (affected by things) berbeda dengan laki-laki yang mengalami akibat berbeda.

Tulisan ini tidak bermaksud pembelaan diri dan pengakuan, meski ada beberapa bagian yang mencerminkan demikian lalu menjurus kearah perbedaan genderisasi ataupun soal emansipasi yang sedang marak belakangan ini. Buat saya pribadi ternyata tidak banyak beda dan gunanya justru memperkeruh siklus kehidupan dengan pergeseran pemahanan makna ‘perempuan’ sebagai satu kesatuan dari proses pencipta yang tak bisa di pisahkan dari ‘laki-laki’ dan ‘kebutuhan regenerasi’ di kehidupan. Dan pun tidak karena dari pihak masing masing yang terus berdialektik pada posisi yang tidak proposional dan rasio tidak sehat. 

Saya mengajak semua dari kita, membuka wawasan pola pikir, mengunakan hati nurani yang sehat dan akal pikir yang cerdas menyikapi setiap kemungkin dalam memperlakukan dan di perlakukan di keseharian serta bahan perenungan. Tulisan ini saya bagi beberapa tahap dan semoga berguna untuk semua kalangan dan usia tidak peduli gendernya laki-laki atau perempuan, sama sama kita manusia.

Tubuh perempuan adalah tapak kehidupan, dinamika masyarakat, sekaligus jejak peradaban, dapat dibaca dari tubuh perempuan.

karena tubuh itu merekam perlakuan pihak lain—orangtua, suami, masyarakat, bahkan negara dan agama, siapapun juga terhadap dirinya.


Kisah Perempuan

Teori konvensional yang beredar di Eropa -demikian pula di seluruh dunia- menyatakan bahwa “tempat perempuan adalah di rumah” dan bukan di ruang publik atau pada tempat kebijakan penyelenggaraan kehidupan dibuat.

Semua hak-hak demokrasi yang susah payah diperjuangkan, semisal, Revolusi Prancis hanya diberikan kepada Kaum Adam hingga seakan-akan perempuan tidak berperan apapun, atau lebih buruk lagi, hanya “hak milik” laki-laki. Budaya ‘patriarchal’ telah membawa kaum perempuan ke lembah penindasan di Iran (film karya Dariush Mehrjui “Leila” dan “Bemani” judul asli, atau “To Stay Alive” judul untuk festival), Mesir (film “Woman at the Point Zero” (1979) karya novelis dan feminis Mesir, Nawa al-Sa’dawi), Afganistan (film “Kandahar” atau Safar e Gandehar (judul asli) atau The Sun Behind The Moon (untuk judul festival)), Indonesia (ketika kartini berusia remaja, keluar rumah saja tabu apalagi untuk bersekolah), dan di mana-mana.

Inilah yang mengusik seorang perempuan Perancis, Olympe de Gouges, menerbitkan Deklarasi Hak-hak Kaum Wanita (1789), sebagai reaksi terhadap kesengajaan tidak dicantumkannya kaum Hawa dalam Deklarasi hak-hak manusia (Man) yang dinyatakan para pelaku Revolusi Perancis.

Keadaan tak jauh berbeda yang terjadi pula di Amerika memunculkan Susan B. Anthony (1820 – 1906), seorang pemimpin gerakan anti perbudakan dan hak pilih bagi perempuan. Perjuangan untuk mencapai kesamaan hak bagi kaum wanita berjalan lambat di abad ke-XIX hingga tidak heran kaum Hawa tidak segera meperolehnya.

Kaum wanita Australia, misalnya, baru mendapatkannya pada tahun 1902, perempuan Inggris pada tahun 1918, dan kaum Hawa Amerika, melalui amandemen konstitusi ke-9, baru mendapatkannya pada tanggal 26 Agustus 1920. Adapun kaum ibu Perancis baru memperoleh hak paling dasar dari sebuah masyarakat demokratis itu pada tahun 1945.

Tradisi ini ternyata sudah ada sebelum agama Kristen dan diikuti oleh orang-orang Yunani dan Romawi, pada masa itu ada suatu kebiasaan dari saudara-saudara sebangsa dan setanah air mereka untuk menistakan perempuan. Di kalangan bangsa Romawi membuang bayi-bayi perempuan itu dibenarkan, bahkan secara implisit dikodifikasikan dalam hukum. 

“Ayah diharuskan membesarkan semua anak laki-laki mereka dan hanya satu anak perempuan; karena pembunuhan bayi sudah lazim terjadi di kalangan bangsawan Romawi, dan tidak berkaitan dengan kebutuhan material”. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga berlangsung di Mesir di mana perempuan biasa dipersembahkan sebagai tumbal bagi sungai Nil. 

Seolah menjadi spirit yang sama, bangsa Aztec Inca juga melakukan pemberian kurban berupa perempuan muda untuk dewa mereka, bahkan beberapa suku Amazon (ini berbeda dengan kisah fiktif suku Amazon) juga sampai saat ini masih ada tradisi mengubur anak-anak perempuan.

Anehnya, mereka yang menjalankan adat untuk memperoleh “kecintaan dan berkah” para dewa mereka itu tidak mempersembahkan sesaji berupa laki-laki, dalam pengertian mereka kurban perempuan akan lebih disukai oleh dewa karena korbannya berkedudukan tinggi dalam pandangan mereka.

Konon penaklukan perempuan bermula pada masa Nomaden, saat kebiasaan mengembara berburu lebih memberikan dominasi pada lelaki untuk pegang kendali pimpinan keluarga. Masa Nomaden digambarkan sangat keras dan butuh otot serta mobilitas fisik, secara tidak langsung, memposisikan wanita berada dibelakang, terutama karena alasan alami, hamil dan memelihara bayi.

Disisi lain psikologi ‘Peperangan’ juga menjadikan kaum perempuan jadi pemberi comfort lahir batin bagi prajurit yang stress, suasana batin kaum laki-laki pemburu yang lelah dan tegang akibat mempertaruhkan nyawa menuntut kaum Hawa menghormati, melayani, dan mengelukan mereka sebagai pahlawan.

Maka sangat logis bila saat Jaman Tembaga peran bagi perempuan melingkupi banyak hal semisal ; berkebun, bekerja di rumah, dll, sedangkan kaum Adam menambang. Inilah yang pada gilirannya, memunculkan tesis kontroversial yang menjustifikasi budaya Patriarki, “Pada awalnya, laki-lakilah yang menjadi pelaku utama perekonomian karena kondisi alam-ketika itu kurang memungkinkan kaum perempuan terjun berburu mencari makanan ke hutan.”

 

Perempuan dari Masa ke Masa

Dari masa ke masa, budaya patriarki yang merupakan sisi mata uang dengan sistem monarki di sisi yang lain bermetamorfosis dan beradaptasi dengan struktur dan sistem yang ada dan menciptakan ketidakadilan baru bagi perempuan. Keterpurukan status perempuan semakin buruk oleh adanya sistem kelas dalam masyarakat feodal dan semakin bertambah mengenaskan bila kebetulan ia anggota kelas minoritas, miskin ( rakyat kebanyakan). 

Kenyataan pahit ini terus berlangsung dalam transformasi corak produksi feodal kepada model kapitalistik terutama di Barat saat meletusnya revolusi industri. Perempuan menjadi sub-ordinat laki-laki, tidak lebih dari mesin reproduksi yang tidak memiliki hak sosial, politik, dan ekonomi. 

Jauh sebelum Muhammad putra Abdillah diutus sebagai rasul, seperti ditunjukkan beberapa bukti arkeologis yang mengisyaratkan penghormatan terhadap “Dewi Ibu” dalam jaman neolitik, peradaban kuno di Timur Tengah sangat menghormati kaum istri. Posisi kaum perempuan yang dominan bahkan lebih tinggi daripada laki-laki ini, seperti juga ditunjukkan oleh kajian tentang berbagai kebudayaan kuno di kawasan tersebut, berlangsung hingga millennium kedua (2) bahkan menjadi aturan di beberapa kawasan seperti Mesir, Mesopotamia, Elam, Kreta, dan di kalangan bangsa Yunani, Phoenica. 

Kondisi tersebut berubah seiring dengan pertumbuhan masyarakat perkotaan yang kompleks karena mulai ada persaingan kepentingan antar kelompok. Hal ini pada akhirnya menghasilkan dominasi laki-laki dan struktur sosial berdasarkan kelas di mana kalangan militer dan elit istana merupakan kelas yang memiliki kekayaan. Keluarga lalu bercorak patriarchal dan dirancang untuk menjamin paternalitas pewaris kekayaan; dan kepentingan kaum Adam dalam mengendalikan seksualitas perempuan pun terlembagakan serta dikodifikasi oleh negara. 

Meningkatnya keragaman dan spesialisasi masyarakat perkotaan juga pertumbuhan populasi yang tidak hanya terdiri dari satu jenis profesi turut memperkuat subordinasi dan marjinalisasi kaum Hawa, menurunkan status mereka yang, pada gilirannya, meruntuhkan kepercayaan terhadap para Dewi. 

Proses yang mengawali kebangkitan para Dewa ini berlangsung turun temurun melampaui beberapa generasi sehingga mewujudkan sebuah peradaban baru yang tanpa disadari telah menggantikan peradaban sebelumnya. 

Hal tersebut mempengaruhi hukum-hukum yang berlaku dari matriarchal menjadi patriarchal yang secara keseluruhan lebih keras dan mengekang perempuan. Beberapa ketentuan hukum yang berlaku di zaman ini antara lain Kode Hammurabi (sekitar 1.752 SM) dan hukum Assyria (sekitar 1.200 SM). Setelahnya muncul beberapa aturan yang dilegalkan dalam Kode Hammurabi misalnya membatasi waktu bagi seorang laki-laki untuk dapat menggadaikan istri dan atau anak-anaknya selama tiga tahun dan melarang tegas memukul, atau menyakiti agunan gadai. 

Belakangan hukum Assyria menghapus langkah-langkah protektif ini dan secara tegas membolehkan memukul agunan gadai tersebut [perempuan], menusuk telinga, dan menjambak rambut mereka. Hukum Assyria juga membolehkan suami menjambak (rambut) istrinya, memotong atau memelintir telinganya tanpa dikenai hukuman. 

Klausul yang lain menyebutkan kaum pria bisa dengan mudah menceraikan istrinya khususnya bila mereka tidak bisa melahirkan anak, tetapi (sang istri) berhak mendapatkan uang denda (uang perceraian) dan (si suami) diharuskan mengembalikan mahar. Sedangkan Undang-undang hukum Assyria membolehkan suami memutuskan istrinya tanpa syarat. “Bila seorang tuan besar ingin menceraikan istrinya, bila hal itu adalah kemauannya, ia bisa memberinya sesuatu, bila hal itu bukan kemauannya, istri akan pergi dengan tangan hampa (183)”. 

Ketentuan lainnya menyebutkan bahwa istri yang menentang suaminya boleh dirontokkan giginya dengan batu bata, sedangkan Kode Hammurabi menetapkan bahwa seorang anak harus dipotong tangannya bila memukul ayahnya (kode 175). Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan mempersembahkan anak perempuannya kepada para dewa, ia juga berhak menggadaikan atau menjual istri dan atau anak-anaknya untuk membayar hutang. 

Begitu juga aturan-aturan tentang hijab yang pada masa itu lebih didasarkan kepada kepentingan politik rasialis daripada keamanan dan perlindungan bagi perempuan. Hukum Assyria memberlakukan hijab bagi istri dan anak dari “tuan besar” atau bangsawan, tetapi pekerja seks dan budak dilarang mengenakan hijab dan pelanggarnya dikenakan hukuman berupa cambuk, dituangi ter (kepalanya), atau dipotong telinganya (hukum-hukum 183). 

 

Perempuan Dalam Agama-Agama.

Dari sekian banyak agama yang dianut manusia, Sebenarnya Islam tampak revolusioner [ pada awalnya Muhammad dan Khadijah bersama-sama menggerakan reformasi revolusioner pada tatanan kehidupan] dalam merubah peradaban manusia, salah satunya dalam hal keadilan dan penghargaan terhadap perempuan. Beberapa indikasi perubahan peradaban manusia pada perempuan yang telah dilakukan Islam antara lain :

Menentang adat penistaan perempuan yang dilakukan bangsa Arab, dari hal mengubur hidup-hidup anak perempuan, pembatasan jumlah istri (dari 8-10 dijadikan 4 saja), hukum bagi waris untuk perempuan, hingga hak penentuan Mahar (mas-kawin) diberikan sepenuhnya pada perempuan.

Seiring lalu waktu, paska kembalinya Contatinopel ke tangan pasukan salib, hukum-hukum atau nilai-nilai revolusioner Islam pun berkembang ke wilayah Eropa, Asia hingga benua baru (Amerika). Memang masih banyak perdebatan di kalangan ilmuan sejarah dalam hal pengaruh Ideologi Islam ini (setidaknya BBC milik Inggris pun memulai proyek tela’ah khusus tentang pengaruh ideologi Revolusioner Islam paska tragedi di Constatinopel)

Agama juga sangat diharapkan para penganutnya untuk membuat formulasi suatu sistem sosial yang dapat memberikan kebahagiaan (happiness), kebebasan (freedom), harga diri (dignity), dan kedamaian pada manusia, alam, dan ciptaan lainnya

Agama memiliki peran yang amat penting terhadap struktur masyarakat karena, selain menjadi pedoman hidup yang fundamental bagi manusia, juga memilki pengaruh fungsional (Zakiyuddin Baidhawy, (ed.), Wacana Teologi Feminis (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hal. vii-viii). Meskipun demikian tak dapat dipungkiri bahwa agama bisa ditafsirkan sedemikian rupa hingga menjadi alat untuk legitimasi struktur penindasan atau membentuk stereotype patriarkhis pada umat manusia.

Ayat-ayat dalam Al Quran seperti yang dinyatakan Surat al-Furqan [25]:32 dan al-A’la [87]:6, (Sebab turunnya ayat ini atau asbabun-nuzulnya dalam beberapa tahap sesuai konteks persoalan yang ada dalam masyarakat jaman Muhammad hidup). Ayat terakhir dari suatu persoalan harus diambil sebagai penetapan final Al Quran tentang suatu hal, sedangkan ayat-ayat sebelumnya dibatalkan (mansukh) dalam arti ayat-ayat itu hanya berlaku pada zaman permulaan Islam saja. 

Ayat-ayat tersebut masih termuat di dalam ‘Mushhaf’ karena, setiap kali muncul gerakan baru, selalu ada “suatu permulaan”, dan ayat-ayat yang lebih awal relevan dalam membantu umat Islam untuk memahami proses dakwah dan metodologinya dalam mengubah masyarakat. Ini berarti proses kebudayaan manusia yang terekam dalam kitab suci tidak seharusnya menjadi standar mutlak.

Sebagaimana, pada zaman perbudakan di AS (Wanita AS dengan warna kulit apapun memiliki hak pilih yang sama 50 tahun setelah amandemen konstitusi ke-14 yang dibuat pada tahun 1868) dan Apharteid di Afrika Selatan, “kaum hitam” ditindas dengan pembenaran dari kelompok-kelompok agama tertentu beserta otoritas yang dimilikinya telah menyalahgunakan kitab suci, kaum Hawa juga ditindas dengan justifikasi mereka yang mengalami kekeliruan dalam menafsirkan ajaran. 

Di tengah-tengah masyarakat religius kaum perempuan ditindas atas nama Tuhan. Sungguh ironis bahwa banyak bukti semakin “religius” seseorang [baca:pria atau wanita], justru makin besar sifat menindas terhadap perempuan. Bahkan mereka yang mempercayai dominasi kaum laki-laki malah menulis buku-buku, “Status Kaum Perempuan dalam Islam”, yang umumnya untuk konsumsi masyarakat non-Islam.

Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan yang sakral itu justru terjadi dengan penggunaan teks-teks agama akibat metode pembahasan para “pemuka” agama terhadap teks-teks ajaran tentang perempuan yang sangat ‘male-based’ (berdasar-kelelakian) . Hal ini terjadi karena Kitab Suci diperankan normatif (menentukan) bagi kehidupan dan pemikiran umat hingga secara tidak langsung, Kitab Suci dijadikan alat pelestarian superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. 

Atau meminjam istilah E. Schussler Fiorenza, Kiriosentrisme. Bahkan, beberapa teolog feminis akhirnya mengambil kesimpulan Kitab Suci merupakan (salah satu) “sumber dan asal-usul penindasan terhadap kaum perempuan”. (Robert Hamerton-Kelly, “God the Father in the Bibel and in the Experience of Jesus : the State of the Question”, Concilium 143, 1981, hal 95.)

Kesimpulan ini menemukan pembenarannya pada kasus hilangnya religi Aluk To Dolo di kalangan masyarakat Tana Toraja setelah masuknya agama Kristen Protestan yang dibawa oleh Badan Pekabaran Injil Belanda Gereformerde Zending Bond (GZB) yang membangun sarana kesehatan, sekolah, dsb. Secara struktural, masyarakat Tana Toraja sebelum tahun 1913 menganut sistem kekerabatan bilateral dan unsur-unsur matrifokal yang memberikan perempuan peran sentral dan sama-sama mempunyai peran penting bersama dengan kaum Adam.

Ajaran Aluk To Dolo menempatkan kaum istri sebagai To Burake yang berarti bahwa perempuan merupakan gudang pengetahuan keagamaan sehingga mereka ditempatkan sebagai pemimpin upacara puncak/tertinggi dari seluruh rangkaian upacara ajaran Aluk To Dolo. Perempuan yang, dalam religi Aluk To Dolo, cenderung memiliki hubungan setara dan saling melengkapi bersama dengan laki-laki akhirnya terpinggirkan oleh beberapa ayat Al Kitab yang diskriminatif atau bias jender.

Dalam sejarah peradaban kaum muslimin, penerjemah dan penafsir ayat senantiasa berasal dari pihak laki-laki sedangkan mufassir dan muhaddits dari kalangan perempuan baru muncul belakangan.

Hal inilah yang antara lain dituding sebagai penyebab lebih diunggulkannya kepentingan kaum adam [Pria;laki-laki]. Tafsir yang kental dengan unsur misoginis tersebut terjadi, di samping karena penafsiran agama telah berumur ribuan tahun ditambah eskalasinya dengan budaya patriarchal, adat istiadat, stereotype, dan mitos-mitos tentang perempuan dan kaum Adam, juga karena setiap laki-laki mempunyai perasaan dan kecenderungan misoginis yang telah terpatri dalam benak mereka.

Laki-laki, misalnya, cenderung mempersepsikan dirinya sebagai pemimpin dan memandang perempuan harus tunduk kepada mereka.

Perlu juga mengingat bahwa dahulu kala sejumlah ulama (seseorang yang mengkabarkan ajaran agama), adalah pendukung para raja yang menolak hak-hak luhur yang telah diberikan Allah kepada kaum Hawa. Hingga kaum (konsumen ajaran ulama) menerimanya begitu saja tanpa pertimbangan apapun (taklid atau menelan ajaran mentah-mentah). Sayang sekali bahwa umat (Islam) yang sudah mulai melawan kekuasaan para raja mayoritas tidak melihat hubungan antara sistem kerajaan dengan proses penindasan terhadap kaum perempuan yang ditegakkan atas nama ajaran (Islam) itu.

Hal ini wajar karena kaum muslimin (terutama kalangan perempuan) memang tidak dimungkinkan dapat melihat ajaran (Islam) sebagai kekuatan pembebas ketika (pemahaman terhadap) ajaran (Islam) masih dicengkram kuat oleh ulama yang berpikir tribalis dan chauvanis kaum pria yang telah menurunkan peran mereka dalam kehidupan.

Lebih memprihatinkan lagi, mereka yang mampu “menyadari keadaan” menjadi orang-orang sinis dan kemudian menolak ajaran (Islam) serta melakukan “segala” yang mereka inginkan. Gerakan perempuan di Barat, misalnya, pada umumnya menyorot secara sinis dan curiga kepada Islam yang dinilai sebagai ajaran yang memarjinalkan perempuan dan menjadikan kaum Hawa sebagai manusia kelas dua di bawah bayang-bayang kaum pria.

Mereka tidak sadar bahwa banyak sekali faktor yang bisa melahirkan kesenjangan yang jauh antara apa yang dikatakan para ayatullah dan maulana dengan apa yang ditunjukkan oleh Al Quran dan Al Hadits, apa yang dikatakan para Brahmana dan Pertapa dengan apa yang diajarkan oleh Weda; dan menilai suatu agama harus langsung kepada ajaran-ajarannya, bukan kepada realitas sosiologis pemeluknya!

Kita perlu mengkaji ulang benarkah apa yang kita pahami selama ini berasal dari teks keagamaan (baca : kitab suci) ataukah berasal dari narasi masalah kemanusiaan yang sebenarnya merupakan rekaman proses kebudayaan lalu kita sebut sebagai ajaran. Ini sangat penting terutama tatkala kita tahu bahwa realitas sejarah kaum muslimin (pasca-khulafa rasyidin) hanya dapat dibaca dalam konteks sejarah para despot, tiran, dan para raja.

Sementara narasi teks kitab suci dibuat bersusunan mitis dalam arti wacana di dalamnya yang menceritakan proses kesadaran kolektif sekelompok masyarakat yang sedang mengukir proyek tindakan sejarah baru (un nouveau project d’action historique) yang amat manusiawi dan sangat profan.

Mungkinkah konsistensi para ulama dalam menyalahtafsirkan, mengabaikan, bahkan menghilangkan ajaran-ajaran yang mendukung kaum ibu kita adalah suatu “kebetulan” semata? Suatu kebetulan yang berlangsung lebih dari 1.000 tahun di bawah kekuasaan para raja dan otokrat dengan (menciptakan) sistem sosial budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pusat sejarah kehidupan?

Rasulullah SAW diutus dengan misi rahmat bagi semesta (QS al-Anbiya [21]:107) yang antara lain kemudian “diterjemahkan” beliau dengan kalimat, “Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”. Pernyataan ini merupakan prinsip dasar yang berlaku secara umum untuk menata kembali peradaban umat manusia di muka bumi supaya memiliki budi pekerti yang luhur. Misi ini sesuai sekali dengan realitas sosial masyarakat Timur Tengah sebelum Islam yang sangat tidak menghargai prikemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dsb.

 

Perempuan Dalam Kebudayaan Jawa

Gambaran perempuan dalam Wayang Purwa merupakan suatu sistem konversasi (perbincangan) peradaban-Jawa (yang masih diutamakan sebagian masyarakat Indonesia), Citra Perempuan terdistribusi dengan cara memikat melalui lakon cerita yang membetot imaji disamping pentas pagelarannya juga menggertak ekspresi. Semua tokoh penting wayang laki-laki yang beristri lebih dari satu (kecuali Yudhistira dan Duryudana) juga sikap terhadap sinden-sindennya menunjukkan bahwa konstruksi Wayang Purwa sangat kental dengan budaya patriarki yang membawa nilai dan citra kaum Hawa yang subordinat.

‘Drupadi’, salah satu tokoh dalam Wayang Purwa Mahabarata versi Jawa digambarkan sebagai perempuan utama, dalam suatu kisah dituliskanDrupadi harus menerima nasib bagaikan sebuah barang saja. Ia menjadi alat pertaruhan ‘Judi Dadu’ antara suaminya Yudhistira dengan Duryudana dari trah Kurawa

Sedang ‘Subadra’ (Rara Ireng-karena kulitnya hitam manis), istri pertama Arjuna dilukiskan sebagai perempuan yang lemah lembut, setia, penuh pengertian meski suaminya lebih banyak mengembara daripada berkumpul dengannya, bahkan tanpa seizinnya, Arjuna kawin lagi hingga puluhan kali.

Salah satu keutamaan Subadra sebagai perempuan karena menerima Srikandi dan Larasati (madunya) dalam satu atap. SementaraBanowati, istri Duryudana Raja Astina, meski mampu melayani suami dengan sangat baikhingga tidak menikah lagi, selalu menunggu kesempatan bertemu dan berselingkuh dengan Arjuna kekasih lamanya.

Dalam beberapa cerita ‘Wayang Purwa’, puncak status tertinggi perempuan adalah bidadari atau dewi yang tinggal di kahyangan[Mungkin ini salah satu filosofi Hindu yang masuk kedalam kitab-kitab agama lainnya, disurga ditemanin istri-istri dan bidarai-bidadari yang cantik-cantik]. Namun nasib mereka juga tidak lebih baik dari tokoh wayang perempuan yang ada di dunia.[ tetap dijadikan alat penghibur dan temani laki-laki dikahyangan]

Dewi Uma istri Bethara Guru, raja kahyangan, dikutuk suaminya menjadi raksasa dan berperangai buruk hanya karena menolak melayani syahwat suaminya di atas lembu Andini. Meski kemudian mendapat kekuasaan puncak di Pasetran Gandamayit, Dewi Uma yang kemudian berjuluk Durga selalu digambarkan sebagai biang kerok keburukan dan keonaran dan mesti dibasmi (oleh pengikut Bethara Guru).

Demikian halnya dengan bidadari-bidadari lainnya, bahkan ada yang dijadikan barang undian, dihadiahkan kepada kaum Adam yang dianggap berjasa bagi para dewa. Resi Bagaspati, Resi Gautama, Prabu Sentanu, Sugriwa, dan Subali adalah beberapa wayang laki-laki yang dianggap berjasa kepada Dewa-nya, kemudian mendapat hadiah bidadari-bidadari tanpa perlu minta persetujuan mereka, walau Subali dan Sugriwa adalah seekor kera, walau Resi Bagaspati berwujud Raksasa, bidadari-bidadari itu tak kuasa menolak titah mahadewa. Lebih dari itu, puluhan bidadari telah dihadiahkan kepada Arjuna tanpa persetujuan yang menjalani, padahal Arjuna telah memiliki puluhan istri.

Wayang perempuan yang paling populer adalah ‘Srikandi’. Namanya sering dijadikan simbol untuk perempuan berprestasi : Srikandi bulu tangkis, Srikandi birokrasi, pengusaha, dan banyak lagi untuk memberi penghargaan atas jasa-jasanya kepada bangsa atau negara. Akibatnya, dalam gambaran kita, Srikandi menjadi simbol keber-arti-an perempuan dalam masyarakat,simbol kepahlawanan, dan simbol persamaan antara perempuan dan kaum Adam karena prestasi dan kegesitannya meski sesungguhnya semu dan, bahkan, palsu. Dalam wayang purwa, Srikandi adalah satu-satunya kaum Hawa yang diberi hak terjun dalam perang Barathayuda. Sekali ia berperang, sekali itu pula ia mampu menjungkalkan Bisma (setelah berhasil menancapkan anak panah dalam kerongkongan Bisma), seorang pahlawan perang Kurawa yang tak satu prajurit pun dari kubu Pandawa sanggup mengalahkannya.

Srikandi dinobatkan sebagai perempuan utama karena dianggap sebagai pembuka jalan bagi kemenangan Pandawa atas Kurawa. Padahal, sesungguhnya Srikandi hanyalah “alat” dari sebuah dendam, bukan pelaku utama kisah kepahlawanan itu karena pembunuh Bisma yang sebenarnya adalah ‘Amba’, gadis yang ditolak cintanya oleh Bisma sewaktu muda.

Dalam kematiannya, Amba menyimpan dendam untuk ganti membunuh Bisma agar bisa pergi ke surga bersama-sama karena tidak bisa bersama di dunia; dan kesempatan itu baru datang saat perang Barathayuda. Ia menyusup ke tubuh Srikandi yang tengah melepaskan anak panah ke dada Bisma. Mengetahui yang merasuki Srikandi adalah Amba, Bisma membiarkan dirinya dihujani anak panah Srikandi sebagai upaya penebusan dosanya pada Amba.

Tokoh Srikandi kita puja dan kita tempatkan dalam simbolisasi yang penting. Kita bahkan tidak perduli, ketika ia mau diperistri Arjuna, Srikandi telah melukai hati Subadra sang istri pertama yang berulangkali dimadu suaminya karena tidak bisa memberikan anakSrikandi sesungguhnya adalah pseudo-metaphor, gambaran semu bagi upaya menghibur ketertindasan perempuan di berbagai bidang sebagaimana Orba menghibur kaum hawa dengan Dharma Wanita, seperti Kapitalisme menghibur perempuan dengan gelar ratu kecantikan.

Dewi Kunti: adalah puteri dari Prabu Kuntiboja. Ia adalah saudara dari Basudewa yang merupakan ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra. Ia juga adalah ibu daripada Yudistira, Werkodara, dan Arjuna dan juga adalah istri pertama Pandu Dewanata. Selain itu Kunti juga ibu dari Karna. Sepeninggal Pandu Dewanata, ia mengasuh Nakula dan Sadewa, anak Pandu Dewanata dari Dewi Madri. Seusai Bharatayuddha, ia dan iparnya Dretarastra, Gandari, dan Widura pergi bertapa sampai akhir hayatnya.

Budaya yang menempatkan dominasi laki-laki atas berbagai hal itu masih sangat melekat dalam sosiokultural berbangsa dan bernegara bahkan merasuk sampai sistem bahasa kita dan telah menjadi aturan standar. Contohnya sistem pewarisan, misalnya, di Bali yang tidak berpihak kepada perempuan, bahkan dalam sistem matriarchal -yang jumlahnya tidak banyak itu- seperti yang dianut masyarakat Sumatera Barat, suara tidak selalu ditentukan oleh perempuan. Padahal, sistem pewarisan menjadi sangat penting dalam bidang pertanian karena menyangkut modal kerja petani, yakni tanah garapan.

Pandangan yang masih disebar luaskan antara lain bahwa, “Kelak, toh perempuan akan menjadi ibu rumah tangga dan ikut suaminya”– telah menjadikan, misalnya, pernikahan terlalu dini -kasus ini tidak memperhatikan kesehatan fisik dan mental, pendidikan, kemampuan mendidik anak, dan kemampuan menjaga keharmonisan keluarga- sebagai varian peradaban yang sangat wajar dan sangat biasa.

Dalam masyarakat Sunda, misalnya, terdapat ungkapan, “Awewe mah pondok lengkah”, yang berarti jangkauan peran perempuan itu terbatas. Setinggi apapun ilmunya, peran kaum Hawa Sunda akhirnya kembali pada urusan rumah tangga : dapur, sumur, dan kasur. Atau, misalnya, mitos dalam masyarakat Jawa bahwa wanita hanyalah “konco wingking” telah menjadi pembenaran bagi pandangan kurang patutnya kaum wanita mengurusi persoalan yang dipandang penting, tidak layak memimpin, dan menjadi pemimpin dari urusan RT sd Pemerintahan, dsbnya.

 

Perempuan Sebagai Komoditas Industri.

Mencermati masa kini, perpaduan budaya Patriarki dengan Kapitalisme menjadikan perempuan sebagai komoditas industri baru.

Dengan memanfaatkan danmelestarikan mitos-mitos kecantikan yang “bersesuaian”, para kapitalis pendukung “pagelaran” konsumerisme telah menjadikan perempuan sebagai target pasar. Jelas saja, karena cantik diterjemahkan sebagai langsing, rambut lurus panjang, kulit putih mulus, dan performance “sedemikian”, peralatan, bahan-bahan, atau obat-obatan pelangsing badan, kosmetika, shampoo, pemutih, dan fashion yang mereka perdagangkan menjadi laris.

Lebih lanjut, “pencitraan” yang dipandu nilai-nilai patriarkis Barat untuk kepentingan ekonomi (baca : kepentingan peningkatan kapital-alias modal) telah membuat perempuan Indonesia terjebak oleh rasa tidak PD (Percaya Diri) dan tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Padahal “Sekarang ini, di Barat”, ungkap feminis Naomi Wolfgalau, “kecantikan adalah tempat yang amat empuk untuk memelihara dominasi pandangan patriarkhis.

Para kapitalis bukan hanyamengepung dan memaksa kaum ibu, kita dengan kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya tidak mereka perlukan, tetapi juga menggiring kaum perempuan ke dalam ketidaksadaran-ketidaksadaran, menjadikan kaum Hawa sebagai komoditas yang tersisihkan sisi kemanusiaannya.”

Sebuah iklan televisi, misalnya, pernah menayangkan bagaimana dua gadis kembar memiliki rasa percaya diri yang berbeda lantaran teman pria mereka lebih terpikat pada si kuning langsat dibanding yang berkulit coklat. Dalam iklan itu, digambarkan bahwa setelah, memakai lotion pemutih, si kulit legam berhasil mendapatkan warna badan yang diinginkannya dan, mudah ditebak, tentu pria idamannya juga. Atau sebuah iklan shampoo yang secara eksplisit mengajarkan bahwa remaja perempuan akan lebih disayang pacar jika rambutnya panjang dan hitam.

Mitos-mitos (baru) seperti itu menjadikan kaum perempuan merasa perlu memutihkan kulit atau memanjangkan rambutnya tidak dari keinginannya sendiri, melainkan karena tekanan diskursus yang provokatif dan terus-menerus dari televisi berupa resep, “agar disayang pria” bahkan lebih menjengkelkan lagi, hanya bisa diraih dengan membeli produk-produk itu. “Kemampuan iklan untuk membangkitkan respons tidak sadar dari pemirsanya adalah bagian dari ideologisnya”, demikian kata Tony Schwartz dalam bukunya, “The Responsive Chord”.

Para kapitalis dalam negeri pun ikut-ikutan latah memproduksi, misalnya, barang-barang kosmetika, obat-obatan, dan sebagainya. Didukung oleh media masa para pengusaha nasional secara sadar meneruskan serbuan nilai-nilai Barat terhadap (perempuan) Indonesia dengan kemasan “ramuan tradisional turun-temurun”. Dunia bisnis dan entertainment telah menjadikan perempuan sebagai komoditas yang sangat menjual seperti terlihat dari beragam tayangan sinetron, film, iklan, dsb; mulai shampoo, gunting kuku, hingga segala hal termasuk yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan “kekhasan perempuan” menggunakan “keistimewaan” model perempuan.

Singkatnya, alih-alih dilibatkan dalam proses secara lebih lanjut dalam pengambilan kebijakan berkenaan dengan hal-hal yang kaum Hawa juga ikut menanggung risikonya (mulai masalah rumah tangga, agama hingga urusan negara), mobilisasi eksploitatif terhadap perempuan semakin menemukan legitimasi dan justifikasinya lewat media. Mereka [pria:termasuk kaum wanita] telah menzhalimi kaum ibu, membuat kaum hawa menjadi ‘minder-wagen’ dan merasa tidak berharga bila tidak cantik, tetapi tidak risau jika kosong otaknya dan jorok akhlaknya.

Kaum istri lebih banyak dieksploitasi, atau, seperti terlihat di tengah-tengah masyarakat “progresif”, “di-seksploitasi” atas nama kesempatan dan popularitas. Kaum Hawa masih tetap menjadi makhluk asing dalam dunia para pria. Kaum wanita mengambil apa saja yang disodorkan kepada mereka dan, dalam banyak kasus, tidak berani membuka mulut untuk memprotes, pun di zaman yang konon disebut “women’s lib” sekarang ini.

Semakin memprihatinkannya, program-program pembangunan yang disajikan untuk perempuan pun bukannya memberdayakan, malah mendukung kemapanan“penggusuran perempuan” seperti terlihat dari miss-miss-an, moka (mojang-jajaka), atau pemilihan cak dan ning yang cenderung lebih menonjolkan aspek beauty daripada brain dan behavior. Bahkan, meskipun telah banyak berbagai lapisan masyarakat yang berteriak, pemerintah tetap kurang tertarik mengurusi (aturan dan hukum-hukum yang menaungi) nasib pekerja-pekerja, terutama perempuan di negeri orang dari perlakuan tidak berprikemanusiaan, sarkastis, dan perbudakan oleh majikannya.

Tragedi Nunukan, misalnya, telah menimbulkan persoalan yang sangat mengerikan, trafficking in persons (penjualan manusia) khususnya anak-anak dan kaum hawa. Padahal, mereka menyumbang 1/3 dari total devisa negara. Dan, tidak seperti Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo yang pergi ke penampungan dan mengirimkan surat protes, dengan gampangnya, Megawati [si presiden waktu itu] tanpa beban moral menyatakan, “Itu dibesar-besarkan media”, dan bahwa masalah tersebut tugas dan tanggung jawab pemda setempat.

Sementara bila kita mencermati pengakuan Perdana Menteri Inggris Tony Blair tentang Ratu Elizabeth, dimana setiap Tony menemui masalah dalam menjalankan roda pemerintah Inggris dia akan segera berkonsultasi dengan Elizabeth. Bagi Tony berbincang dengan Elizabeth bagaikan membaca ‘perpustakaan peradaban manusia yang hidup’, sebab sang Ratu berpengalaman mengarungi hidup sejak pra-Perang Dunia I hingga Millenium ke III ini. Tony selalu tercengang kepada petuah-petuah Elizabeth yang sarat pengalaman. Maka bisa dituliskan Perempuan adalah ‘Archaive Hidup’ perekam jejak peradaban manusia

 

Kehidupan versus Kematian:

Dalam pandangan mayoritas orang, saat ini agama atau keyakinan kerap dikaitkan pada dua hal yakni ke-hidup-an dan ke-mati-an. Berbuat kebaikan untuk [kehidupan setelah kematian]. Dosa[salah yang atas kesepakatan manusia, moral dan etika] harus dihindari demi terbebas dari [kehidupan begitu suram, setelah kematian]. Padahal, bukankah entah hidup dan kematian, kita tengah berada pada [sekarang], aku yang berada sebagai perempuan, dalam dunia yang disusun dan dijalankan oleh [laki-laki] (patriarki).

Lihatlah hidup sekarang: kekerasan, ketidakadilan, pemiskinan, kelaparan, perang, kezaliman, pelanggaran hak asasi manusia. Kita merasakan: ada yang korupsi uang rakyat bermilyar-milyar rupiah, sementara ada yang benar-benar tak bisa makan. Kita merasakan nyawa manusia dihilangkan hingga tinggal nama (bahkan kerap tak bernama) di bumi negeri bernama negara hukum ini.


[Rasa] Itu, [Tubuh] Itu:

Lihatlah bagaimana belum lama ini sebuah koran nasional memuat berita tentang pemikiran kaum muda, dari sekian banyak daftar tersebut, hanya kurang dari lima orang adalah perempuan. Perempuan, seolah tidak berpikir dan perempuan adalah mahluk lemah tiada daya dan seterusnya, anehnya ‘premis’ ini diamini dan diyakini oleh perempuan sendiri, beberapa kalimat membudi-dayakan perempuan, pemberdayaan perempuan, telah mengambarkan betapa tidak berdayanya perempuan.

Dalam dunia patriarki yang bernafas dari keserakahan, kesewenang-wenangan, kerakusan telah meminggirkan mereka yang lemah, rasa selalu dibunuh. Dan tubuh tak lebih adalah objek yang mesti ditaklukkan. Rasa dan tubuh harus dibungkam.

Ini adalah syarat laju penindasan dan ketidakadilan. [Pemikiran] pun didefinisikan oleh [cara pikir] laki-laki. Sekali lagi, ingat, bahwa ini bukan soal laki-laki versus perempuan, apalagi disempitkan menjadi soal seks-isme yang kerap berujung pada [perpecahan] laki-laki dan perempuan.

Sekedar mengantar, mari sebentar saja kita ingat-ingat, adakah pernah kita mendengar istilah [pikir keadilan] atau [pikir kemanusiaan]? Yang ada adalah [rasa keadilan] dan [rasa kemanusiaan].

Tidak mudah tentu mengajarkan mahasiswa Fakultas Hukum tentang [rasa keadilan] dan [rasa kemanusiaan], tatkala teks-teks dan teori hukum berkisar pada legalitas formal sebuah hukum. Tak mudah jelas menjelaskan [rasa keadilan] dan [rasa kemanusiaan] saat ukuran tentang keadilan dan kemanusiaan, direduksi menjadi: [mana buktinya?], [mana luka-lukanya?], [mana saksinya?], [berapa jumlah korbannya?].


Kekuatan Spiritual Perempuan:

Dalam hidup yang suram, spiritualitas hadir memberi pencerahan bagi saya. Untuk menjadi spiritual, saya diajak berpikir dan merasa melebihi ajaran agama dan keyakinan yang terus tertanamkan dalam diri saya. Spiritualisme itu ada di sini, Ia bukan sesuatu yang ada dalam rutinitas saya menjalani ibadah.

Spiritualisme itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan saya dalam komunitas dunia (politik, ekonomi, sosial, budaya, seluruh aspek dalam hidup). Spiritualisme itu hadir dan saya kenali lewat [pengalaman-pengalaman] perempuan. Spiritualisme itu adalah kesadaran bahwa ada [korban], saya sadar saya adalah [korban], dan saya tidak mau menjadi [korban],serta pada saat bersamaan saya tidak mau menjadi [pelaki].

Saya menolak dibungkam untuk menyatakan kebenaran. Karena diam dan bungkam adalah pembenaran terhadap penindasan dan ketidakadilan. Dan ini berlaku untuk semua makhluk tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit, suku, ras, agama, keyakinan, dsb. 

Pencerahan ini membawa saya pada kehadiran Tuhan, pada wajah-wajah Tuhan yang hadir lewat keberagaman tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, warna kulit, ras, dsb.

Sekarang adalah Waktunya bagi Perempuan, memberikan kehidupan spiritual untuk dunia, di saat dunia telah kehilangan makna spiritualitas. Ini waktunya bagi perempuan memperlihatkan ada wajah lain dari Tuhan yang kerap didefinisikan demikian mengerikan (bagaimana tidak, bukankah segala hal yang buruk dan kejam yang terjadi di muka negeri ini dilakukan oleh mereka yang terus mengaku beragama dan menyembah Tuhan?). Ini waktunya bagi perempuan, untuk menampilkan wajah-wajah lain itu, bahwa hidup ini adalah proses memanusiakan martabat kemanusiaan semua kita.

Sekarang adalah waktunya bagi perempuan, berbicara dan memperlihatkan bahwa kehidupan yang penuh kekerasan, ketidakadilan, penderitaan, pemiskinan harus dihapuskan, bahwa prinsip spiritual semestinya menjadi dasar pengambilan kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya, daripada kekuasaan semu dan interpretasi agama yang keliru.

Sekarang adalah waktunya bagi perempuan, memberikan hatinya untuk membangun dunia, membicarakan perdamaian, terus..dan terus… memberikan hati dan hasratnya yang penuh pada upaya menghapuskan kekerasan, ketidakdilan, kesewenang-wenangan, pada upaya penciptaan sistem hukum yang lebih adil bagi mereka yang tertindas, pada hidup yang lebih manusiawi, dan seterusnya dan seterusnya.

Pertanyaan untuk engkau yang perempuan: Tubuhmu adalah tapak kehidupan, dinamika masyarakat, sekaligus jejak peradaban, dapat dibaca dari tubuh perempuan. Sudah kah engkau benar benar ketahui itu? Dimulai dari saat engkau mengandung 9 bulan, menyusui, membesarkan generasimu, benarkah engkau kenali sosok tubuh yang terlahir dari rahim-mu melalui jalan vagina-mu?

Dan kepada engkau yang perempuan sebagai sifat, tanpa tubuh, dimana kau sembunyikan sisi tersebut? Apakah sungguh memalukan mengekspresikan sifat perempuan tersebut? [bukan sebagai homo atau lesbian]

Pertarungan abad ke abad mengapa selalu soal Kelamin [ Penis dan Vagina] ? Penaklukan atas kebutuhan Penis dan Vagina yang setiap manusia gendong kemana-mana, [meminjam istilah mbah surip].Pertarungan eksistensi kelamin [vagina dan penis] sehingga mengakibatkan perempuan terkubur oleh manusia dan peradabannya sendiri?

Dimanakah perempuan itu kini berada? semuanya kembali berpulang kepada kita semua, untuk mencari adakah dalam diri kita perempuan itu? sehingga ibu-ibu kita, tidak perlu selalu merasa terasing dari anak-anaknya ketika anak-anaknya sudah menjadi ibu dan bapak dari anak-anak mereka.

Salam
Aida.C’est


Catatan berbagai sumber Internet dan Buku Bacaan: 

Romantic Susanna Susanna and the elders by the French painter Théodore Chassériau (1819-1856). Chassériau started as a pupil in the the atelier of Ingres and received there a classical academic education. But later he fell under the influence of Delacroix the romantic opponent of Ingres. This Susanna with its exaggerated gestures, the impressive colors and the concentration on a few important details is pure romanticism.
*1. Camille Paglia, Sexual Personae: Art and Decadence from Nefertiti to Emily Dickinson (Yale University Press: New Haven, 1990), p. 38.
*2. Ursula Le Guin, “Women/Wildness,” Judith Plant, ed., Healing the Wounds (New Society: Philadelphia, 1989), Hal. 45.
*3. Sherry B. Ortner, Making Gender: the Politics and Erotics of Culture (Beacon Press: Boston, 1996), Hal. 24. Lihat juga Cynthia Eller, The Myth of Matriarchal Prehistory: Why an Invented Past Won’t Give Women a Future (Beacon Press: Boston, 2000).
*4. Sebagai contoh, Adrienne L. Zihlman dan Nancy Tanner, “Gathering and Hominid Adaptation,” dalam Lionel Tiger and Heather Fowler, eds., Female Hierarchies (Beresford: Chicago, 1978); Adrienne L. Zihlman, “Women in Evolution,” Signs 4 (1978); Frances Dahlberg, Woman the Gatherer (Yale University Press: New Haven, 1981); Elizabeth Fisher, Woman’s Creation: Sexual Evolution and the Shaping of Society (Anchor/ Doubleday: Garden City NY, 1979).
*5. James Steele dan Stephan Shennan, eds., The Archaeology of Human Ancestry (Routledge: New York, 1995), hal. 349. Also, M. Kay Martin and Barbara Voorhies, Female of the Species (Columbia University Press: New York, 1975), hal 210-211.
*6. Leacock merupakan salah satu yang paling ngotot di antara semuanya, dengan mengatakan bahwa apapun bentuk dari dominasi pria yang ada dalam masyarakat tersebut yang bertahan, disebabkan oleh efek dominasi kolonial. LIhat Eleanor Burke Leacock, “Women’s Status in Egalitarian Society,” Current Anthropology 19 (1978); dan Myths of Male Dominance (Monthly Review Press: New York, 1981). Lihat juga “Powerful Women and the Myth of Male Dominance in Aztec Society,” karya S. dan G. Cafferty Archaeology from Cambridge 7 (1988).
*7. Joan Gero dan Margaret W. Conkey, eds., Engendering Archaeology (Blackwell: Cambridge MA, 1991); C.F.M. Bird, “Woman the Toolmaker,” Dalam Women in Archaeology (Research School of Pacific and Asian Studies: Canberra, 1993).
*8. Claude Meillasoux, Maidens, Meal and Money (Cambridge University Press: Cambridge, 1981), p. 16.
* 9. Rosalind Miles, The Women’s History of the World (Michael Joseph: London, 1986), p. 16.
* 10. Zubeeda Banu Quraishy, “Gender Politics in the Socio-Economic Organization of Contemporary Foragers,” dalam Ian Keen dan Takako Yamada, eds., Identity and Gender in Hunting and Gathering Societies (National Museum of Ethnology: Osaka, 2000), p. 196.
Proud Judith This Judith by the French painter Joseph Benjamin Constant (1845-1902) resembles a lot the other one. It’s also a proud woman who doesn’t need much symbols or action like cutting heads. The sword is enough.
* 11. Jane Flax, “Political Philosophy and the Patriarchal Unconscious,” dalam Sandra Harding adan Merrill B. Hintikka, eds., Discovering Reality (Reidel: Dortrecht, 1983), pp 269-270.
*12. LIhat Patricia Elliott, From Mastery to Analysis: Theories of Gender in Psychoanalytic Feminism (Cornell University Press: Ithaca, 1991), e.g. p. 105.
*13. Alain Testart, “Aboriginal Social Inequality and Reciprocity,” Oceania 60 (1989), p. 5.
*14. Salvatore Cucchiari, “The Gender Revolution and the Transition from Bisexual Horde to Patrilocal Band,” dalam , Sexual Meanings: The Cultural Construction of Gender and Sexuality (Cambridge University Press: Cambridge UK, 1984), karya Sherry B. Ortner dan Harriet Whitehead hal. 36. Essay ini sangatlah penting.
* 15. Olga Soffer, “Social Transformations at the Middle to Upper Paleolithic Transition,” dalam Replacement: Controversies in Homo Sapiens Evolution (A.A. Balkema: Rotterdam 1992) karya Günter Brauer dan Fred H. Smith, hal. 254.
*16. Juliet Mitchell, Women: The Longest Revolution (Virago Press: London, 1984), hal. 83.
*17. Cucchiari, op.cit., hal. 62.
*18. Robert Briffault, The Mothers: the Matriarchal Theory of Social Origins (Macmillan: New York, 1931), hal. 159.
*19. Theodore Lidz and Ruth Williams Lidz, Oedipus in the Stone Age (International Universities Press: Madison CT, 1988), hal. 123.
*20. Elena G. Fedorova, “The Role of Women in Mansi Society,” in Peter P. Schweitzer, Dalam Hunters and Gatherers in the Modern World (Berghahn Books: New York, 2000), karya Megan Biesele dan Robert K. Hitchhock, hal. 396.
*21. Steven Harrall, Human Families (Westview Press: Boulder CO, 1997), hal. 89. “Contoh-contoh hubungan antar ritual dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat forager tersebar luas,” menurut Stephan Shennan di “Social Inequality and the Transmission of Cultural Traditions in Forager Societies,” karya Steele and Shennan, op.cit., hal. 369.
* 22. Gayle Rubin, “The Traffic in Women,” Toward an Anthropology of Women (Monthly Review Press: New York, 1979), hal. 176.
*23. Meillasoux, op.cit., hal 20-21.
*24. Disebut oleh Indra Munshi, “Women and Forest: A Study of the Warlis of Western India,” dalam Gender Relations in Forest Societies in Asia: Patriarchy at Odds (Sage: New Delhi, 2003), karya Govind Kelkar, Dev Nathan dan Pierre Walter, hal. 268.
*25. Joel W. Martin, Sacred Revolt: The Muskogees’ Struggle for a New World (Beacon Press: Boston, 1991), hal 99, 143.
*26. The production of maize, one of North America’s contributions to domestication, “had a tremendous effect on women’s work and women’s health.” Women’s status “was definitely subordinate to that of males in most of the horticultural societies of [what is now] the eastern United States” by the time of first European contact. The reference is from Karen Olsen Bruhns and Karen E. Stothert, Women in Ancient America (University of Oklahoma Press: Norman, 1999), p. 88. Also, for example, Gilda A. Morelli, “Growing Up Female in a Farmer Community and a Forager Community,” in Mary Ellen Mabeck, Alison Galloway and Adrienne Zihlman, eds., The Evolving Female (Princeton University Press: Princeton, 1997): “Young Efe [Zaire] forager children are growing up in a community where the relationship between men and women is far more egalitarian than is the relationship between farmer men and women” (p. 219). See also Catherine Panter- Brick and Tessa M. Pollard, “Work and Hormonal Variation in Subsistence and Industrial Contexts,” in C. Panter-Brick and C.M. Worthman, eds., Hormones, Health, and Behavior (Cambridge University Press: Cambridge, 1999), in terms of how much more work is done, compared to men, by women who farm vs. those who forage.
*27. The Etoro people of Papua New Guinea have a very similar myth in which Nowali, known for her hunting prowess, bears responsibility for the Etoros’ fall from a state of well-being. Raymond C. Kelly, Constructing Inequality (University of Michigan Press: Ann Arbor, 1993), p. 524.
*28. Jacques Cauvin, The Birth of the Gods and the Origins of Nature (Cambridge University Press: Cambridge, 2000), p. 133.
*29. Carol A. Stabile, Feminism and the Technological Fix (Manchester University Press: Manchester, 1994), p. 5.
*30. Carla Freeman, “Is Local:Global as Feminine:Masculine? Rethinking the Gender of Globalization,” Signs 26 (2001).

 

Leave a comment