Terminologi dan Dampaknya

Mungkin tidak banyak orang yang menyadari bahwa penggunaan terminologi tertentu memberikan efek psikologis tersendiri. Selain efek psikologis, sebuah kata, istilah atau terminologi juga dapat memberikan konotasi negatif atau positif, memberikan menaikkan atau menurunkan derajat seseorang atau kelompok tertentu.

Misalnya, kata “junkie” sekarang tidak lagi digunakan untuk menyebut mereka yang menggunakan napza, istilah yang dianjrkan untuk dipakai adalah pengguna napza atau pecandu. Karena asal kata tersebut adalah “junk” yang artinya sampah. Penggunaan kata junkie dikhawatirkan akan menambah stigma yang telah membungkus kelompok pengguna napza menjadi lebih buruk dari yang sebenarnya. Istilah junkie juga dianggap tidak memberdayakan kelompok pengguna napza. Konotasi negatif yang melekat pada terminologi ini membuat masyarakat menjadi sangat antipati terhadap kelompok pengguna napza dan cenderung enggan untuk membantu atau memberi dukungan.

Contoh lain adalah kata “pelacur” yang dulu kita gunakan untuk mengidentifikasi pekerja seks. Terminologi ‘pekerja seks’ dianggap lebih tepat karena sesuai dengan apa yang mereka lakukan yaitu bekerja dengan memberikan layanan seksual. Kata pelacur sebenarnya tidak bisa dikaitkan hanya pada pekerja seks, karena “melacur” adalah melakukan suatu kegiatan eksploitasi demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Seseorang yang bekerja pada suatu perusahaan hanya demi mengeruk gaji yang besar, dan rela melakukan apa saja demi mencapai keinginannya, bagi saya bisa dikategorikan sebagai seseorang yang melacurkan dirinya kepada korporasi. Atau sebuah negara yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan oleh pejabat negara dengan cara memasukkan banyak investor asing, menurut saya adalah negara yang dilacurkan. Istilah lain untuk pekerja seks yang dulu pernah digunakan adalah WTS (Wanita Tuna Susila). Istilah ini sudah sama sekali tidak boleh digunakan lagi karena jelas mengandung stigma. Terminologi ‘tuna susila’ yang terdapat di dalamnya dianggap sangat merendahkan kelompok pekerja seks, selain itu istilah ‘pekerja seks’ dianggap jauh lebih tepat dan bermartabat karena tidak semua pekerja seks adalah perempuan. Banyak di antara mereka juga adalah laki-laki dan transgender.

Jika kita sering berdiskusi dengan aktivis yang bergerak di bidang HIV/AIDS, kita pasti sering mendengar betapa kesalnya mereka jika media massa masih saja menggunakan istilah “penderita HIV” atau “penderita AIDS”. Kata ‘penderita’ dianggap mengecilkan kondisi dan kemampuan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang notabene masih banyak yang sangat produktif dan kreatif. Istilah yang dianggap tepat adalah “pengidap HIV” dan “pengidapAIDS”atau “pasien AIDS”. Istilah ‘penderita’ juga dianggap tidak memberdayakan bagi kelompok ODHA dan cenderung mendorong mereka untuk bersikap ‘self-pity’. Saya sendiri sebagai ODHA menetang keras penggunaan istilah penderita. Mengapa? Karena saya tidak merasa menderita, kenapa harus seolah dipaksa untuk jadi menderita?

Di negara barat seperti Amerika pergeseran terminologi juga terjadi pada kata “fag” yang awalnya berarti laki-laki homoseksual atau gay. Saat ini terminologi ‘fag’ tidak lagi mengacu kepada kelompok gay, namun lebih banyak diartikan sebagai bahasa slang dari sikap pengecut, tidak gentle atau tidak sportif. Oleh karena itu, jangan kaget jika seorang laki-laki heteroseksual bisa saja menerima kata umpatan “fag” jika bersikap tidak sportif. Di Indonesia juga terjadi pergeseran terminologi yang serupa. Istilah “banci” dan “bencong” dulu digunakan untuk mengidentifikasi kelompok waria atau transgender. Namun saat ini kedua istilah tersebut telah berganti fungsi menjadi julukan bagi laki-laki yang dianggap pengecut, tidak sportif atau tidak gentle.

Saya masih sangat sering melihat bagaimana media massa di Indonesia mengabaikan penggunaan terminologi yang tepat untuk isi berita yang dimuat. Sepertinya dampak psikologis dan sosial dari terminologi yang digunakan sama sekali tidak dipertimbangkan. Tanpa mereka sadari, media massa akhirnya seringkali menjadi pemicu terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu akibat dari penggunaan terminologi yang tidak bijak. Saya rasa naiknya rating sebuah acara atau oplah dari media tidak sebanding dengan beban psikologis dan sosial yang harus dipikul oleh kelompok atau orang tertentu. Memang penjelasan saya ini sering dianggap sebagai debat semantik yang tidakmenjadi prioritas, namun pada kenyataannya penggunaan terminologi yang tepat, terutama terminologi yang bersifat sensitif, akan sangat bermanfaat bagi banyak orang. [sr]

Leave a comment